Kacamata Sang Putri


Putri. Begitulah orang-orang biasa memanggilku. Banyak cerita di balik nama ini. Seperti orang tuaku yang menaruh doa besar di dalamnya, berharap kelak putri bungsu mereka memiliki kepribadian dan kehidupan selayaknya putri-putri dalam cerita dongeng. Namun kenyataan memang tak selalu sesuai dengan harapan. Setidaknya aku beruntung karena lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang menyayangiku, meskipun semula orang tuaku tak menginginkan keberadaanku, sebab mereka sudah merasa cukup dengan dua putra yang kini menjadi kakakku. Alhasil bahkan ketika masih berada dalam rahim ibuku pun, aku sudah belajar untuk mengerti arti perjuangan. Perjuangan melawan obat yang diyakini dokter dapat melenyapkanku, dan perjuangan untuk menjelaskan dengan bahasa tubuh bahwa aku adalah anugrah yang Tuhan titipkan dalam keluargaku. Sebab atas kehendak Nya juga aku masih bertahan di fase selanjutnya, dan terlahir sebagai Putri yang normal.
Aku bersyukur, keluargaku memiliki perekonomian yang baik sehingga segala kebutuhanku dapat terpenuhi dengan layak. Setidaknya begitu sampai usiaku menginjak 10 tahun, bertepatan dengan meninggalnya ayahku. Finansial keluargaku sangat terguncang, dan aku mengalami masa-masa remaja yang sulit, yang tak mungkin kulewati dengan baik tanpa sosok ibu di sisiku. Ibuku adalah wanita yang kuat, meski ditinggal sosok suami yang juga sekaligus sebagai tulang punggung keluarga, beliau selalu tegar dihadapan ketiga anaknya yang masih bersekolah semua. Begitupun saat dua tahun sepeninggal ayahku, keluargaku kembali mendapat cobaan berupa fitnah yang dituduhkan kepada ayahku untuk penyalahgunaan uang perusahaan selama masa kerjanya dulu. Hatiku sulit untuk menerima perubahan yang begitu drastis dalam waktu yang relatif singkat dalam hidupku. Psikologisku terguncang sehingga aku bermetamorfosis dari Putri yang ceria dan ramah menjadi Putri yang pendiam dan penyendiri.
Secara akademik, kemampuan intelegensiku memang tidak menurun sama sekali. Aku berhasil lulus SMP dengan peringkat terbaik dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke SMA favorit di Ibukota. Meski jarak tempuh yang jauh, mengharuskanku berangkat sesaat setelah adzan shubuh berkumandang dan sampai di rumah kembali sesaat sebelum adzan maghrib. Setiap hari selama tiga tahun aku seorang diri harus mengayuh sepeda peninggalan almarhum ayahku melintasi megahnya jalan raya kota metropolitan selama kurang lebih dua setengah jam, demi menuntut ilmu. Selama rentang waktu itu aku hanya dibekali oleh sebotol air mineral. Jangankan untuk membeli makanan atau minuman, aku bahkan tidak membawa uang meski selembar yang bergambar Pattimura sekalipun. Kadang aku merasa ini terlalu pedih untuk fakta hidup seorang ‘Putri’ sepertiku. Namun setiap kali aku lelah dan iri pada teman-temanku, ibu selalu menyemangatiku “Menunduk terkadang memang sulit dan menyakitkan nak, tetapi jika kamu sudah terbiasa melihat ke bawah, kamu tidak akan mengalami kesulitan saat harus memandang jauh ke depan. Matamu tidak akan silau oleh kilauan mentari yang kamu dapat ketika kamu terlalu sering melihat ke atas,” ujar ibuku.
Kata-kata ibu selalu dapat membangkitkan kembali semangatku. Mampu mengajarkan tanpa berkesan menggurui. Akumulai malu ketika terbesit dalam pikiranku untuk menyerah. Aku malu mendapati diriku tenggelam dalam keputusasaan. Malu kepada Tuhan yang telah memberikanku banyak nikmat. Malu kepada mereka yang mungkin mengalami hal lebih sulit di masa hidupnya tetapi mampu tabah dan tidak mengeluh. Malu kepada mereka yang telah percaya bahwa aku bisa menaklukkan keadaan. Aku yakin bahwa dibalik setiap kekurangan, Tuhan telah menyiapkan kemudahan setelahnya serta selalu menyelipkan kelebihan di sisi lain. Aku hanya perlu lebih banyak bersyukur dan berusaha.
Pagi ini, aku mendapati diriku penuh dengan semangat yang membara. Di sudut kelas, aku duduk melepas lelah selepas mengayuh sepeda. Aku menyadari kebenaran dari filsafat bahwa roda kehidupan berputar. Bukankah aku pernah di atas? Mengapa aku harus mengeluh ketika sekarang aku berada di bawah? Pasti ada saatnya aku kembali di atas, namun di setiap sisi roda itu kita dilatih untuk terus berjuang, meski dengan jalan yang beragam.
Bel sekolah berbunyi, pertanda pelajaran pertama dimulai. Aku mengawali hari dengan belajar Fisika.Hari ini Pak Hamid,guru Fisika ku menjelaskan materi tentang gerak parabola dan seperti biasa materinya selalu mudah untuk kupahami. Tapi di tengah-tengah penjelasannya, aku merasakan keanehan lain. Kedua mataku tidak bisa membaca tulisan Pak Hamid di papan tulis. Penglihatanku memang sudah mengalami gangguan sejak kecil yang berupa rabun jauh, namun berkali-kali aku memaksakan otot-ototnya untuk selalu berakomodasi maksimal. Saat ini mungkin kerusakan di kedua mataku sudah benar-benar parah, sehingga wajah Pak Hamid yang berdiri di depan kelas pun hanya terlihat samar. Aku terdiam. Tak berani bercerita pada siapapun, teman-teman bahkan ibuku sekalipun. Sebab aku tidak ingin menambah beban beliau dengan segala keterbatasanku.
Aku mencoba mengakali kekurangan itu dengan duduk di bangku paling depan di kelas, tapi gagal. Kedua mataku tetap tidak bisa membaca tulisan di papan tulis. Namun kali ini aku tidak akan menyerah dan berputus asa dengan keadaan. Aku tetap mencoba untuk belajar dengan baik meski hanya mengandalkan pendengaran dan ingatan saja. Hal ini berlangsung selama satu tahun dan aku bersyukur prestasiku tidak menurun. Tahun kedua aku menempuh pendidikanku di jenjang SMA, semua tidak menjadi lebih mudah. Tiba hari dimana aku dinyatakan tidak lulus ulangan harian Bahasa Indonesia dengan materi menentukan ide pokok. Aku sangat sedih karena tidak bisa membaca paragraf yang dituliskan oleh guru Bahasa Indonesia ku di papan tulis, sehingga terang saja aku tidak dapat menentukan ide pokoknya. Padahal selama ini pelajaran Bahasa Indonesia tidak pernah menyulitkanku sedikitpun. Aku mengayuh sepeda ke rumah setelah mengumpulkan sisa semangatku.
“Kamu kenapa nak? Ada yang sedang kamu pikirkan?” tanya ibuku dengan nada khawatir. “Bu, sepertinya aku harus periksa mata,” ucapku datar.
Terlihat jelas dari raut wajahnya bahwa ibuku bingung, tapi beliau tetap membawaku ke optik. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di optik, akupun melalui serangkaian pemeriksaan dan ternyata kedua mataku minus 5 dioptri, yang berarti dalam ilmu Fisika, mataku hanya bisa melihat dengan jelas benda yang berjarak 20 cm. Bukan hanya aku, namun wajah ibuku juga menyiratkan keterkejutannya. Terlebih lagi ketika disampaikan kisaran harga yang diperlukan untuk membuat kacamata yang nominalnya setara dengan biaya sekolahku selama 6 bulan. Akhirnya kami pun pulang dengan tangan kosong, sebab ibuku tidak mengantongi uang sebanyak itu. Sedih dan kecewa memang, tapi aku tidak marah. Bagiku informasi ini cukup untuk memotivasiku agar belajar lebih giat dari teman-temanku yang berpenglihatan normal. Aku tetap bersyukur sebab nikmat penglihatanku hanya berkurang dan tidak hilang. Hanya masalah waktu saja sampai alat bantu penglihatan dapat terbeli dan menolongku untuk melihat dengan normal lagi. Sampai saat itu aku harus bersabar meskipun sulit.
Tiga tahun berlalu dan aku benar-benar belajar tanpa pernah satu hari pun dapat membaca tulisan di papan tulis. Aku bersyukur tetap bisa mempertahankan prestasiku dan mendapat beasiswa sampai dinyatakan lulus SMA. Sekarang pun aku mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikanku di kota pelajar. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira. Dapat kuukir kebanggan di wajah ibuku pada hari perayaan kelulusanku di SMA karena aku lulus dengan peringkat terbaik se angkatanku.
Aku pulang dengan rasa haru yang tak sanggup kubendung. Kukayuh sepedaku dengan ibu yang membonceng di belakang sambil memegang medali kelulusanku. Sampai di rumah, ada seorang pria berusia senja yang telah menunggu kami. Aku tidak mengenalnya, tapi melihat air muka ibu yang seketika berubah, dapat kuterka pria itu adalah orang penting di kantor tempat almarhum ayahku bekerja selama hidupnya. Mereka berdua pun mengobrol di teras rumahku yang gentengnya sudah hampir ambruk, sementara aku masuk ke dapur dan mendapati kedua kakakku yang tengah mengobrol, aku tersenyum. Bersyukur karena kedua kakakku kini telah memiliki pekerjaan tetap sehingga kondisi finansial keluarga kami sedikit lebih stabil. Setidaknya kami dapat mencicil hutang keluarga yang digunakan untuk kebutuhan selama kami tidak memiliki pemasukan. Obrolan kami terhenti ketika mendengar suara tangisan ibu. Kami pun panik dan bergegas keluar. Kami bertanya-tanya mendapati ibu sedang sujud di lantai teras rumah. Tanpa ditanya, ibu sontak berbalik dan memeluk kami, mengatakan bahwa pria tadi datang untuk menyampaikankeputusan kepala bagian tempat almarhum ayahku bekerja dulu mengenai tuduhan penyalahgunaan dana yang tidak terbukti, disertai pengembalian aset keluarga kami. Kebahagiaan yang bertubi-tubi pun mengakhiri perjuanganku.
Seminggu setelah kelulusanku, aku berangkat ke kota pelajar untuk melanjutkan sekolahku disana. Aku diantar ke stasiun oleh keluargaku. Sesaat sebelum kereta berangkat, ibu memberikanku kotak kecil berwarna merah muda yang katanya hanya boleh dibuka setelah kereta berangkat. Peluit pun menandakan kereta akan memulai perjalanannya, aku segera membuka kotak tadi dan mendapati sebuah kacamata dengan bingkai warna senada di dalamnya. Tanpa kusadari butiran air jatuh pada sudut-sudut kelopak mataku, terlebih saat membaca tulisan ibuku yang terselip disana.
“Kacamata ini mungkin akan membantumu melihat kembali warna-warni duniamu yang sempat suram, nak. Tapi kacamata ini tidak akan mengubah sudut pandangmu karena kamu telah belajar melihat jauh dari apa yang bisa dilihat oleh kedua matamu. Melihat kesulitan sebagai tantangan dan keterbatasan sebagai pilihan. Buat ibu selalu bangga dengan penglihatanmu, nak”
(based on true story, with some modification)
*Pernah terbit di buletin kampus UPY Persada dan harian Minggu Pagi KR Yogyakarta*

Comments

Popular posts from this blog

Suara Hati

Terimakasih Tuhan

Alunan Asa