(Bukan) Surat Cinta Biasa


Mas Angga, mulailah membaca tulisan ini dengan kembali mengingat awal perkenalan kita. Biasa saja? Tentu. Sebab kamu bukan seseorang yang selalu kutunggu saat itu. Begitupun aku. Bukan hal yang penting bagi kita untuk saling mengenal lebih lanjut. Kau begitu asik dengan duniamu sementara aku sibuk dengan duniaku. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, dan kita mengikuti skenario Nya dengan penuh kepercayaan. Sekarang, tolong hadirkan kembali sensasi awal kedekatan kita. Entah bagaimana aku mendeskripsikannya. Kedekatan kita mengalir begitu saja tanpa banyak yang mengetahui, bahkan orang-orang terdekat kita. Kini coba datangkan kembali ingatan tentang betapa kita sudah saling perhatian namun saling menyebalkan satu sama lain bahkan sebelum kita saling jatuh hati. Lucu bukan?

Mas, ketika kita akhirnya memutuskan untuk bersama dalam suatu hubungan, aku tahu itu bukanlah keputusan yang mudah bagi kita. Sebagaimana kita sama-sama tahu bahwa hubungan ini pun tidak mudah. Bagaimana tidak? Dunia kita amat berbeda. Pribadi kita bertolak belakang. Kebiasaan-kebiasaan kita tak sama. Bahkan hampir setiap orang yang mengenal kita menyangsikan kita dapat bertahan lama dalam hubungan ini. Namun demikian kurasa setiap hubungan memiliki masalahnya masing-masing. Dan kupikir setiap pasangan akan menemukan solusi dari masalah mereka jika mereka mau dan dimampukan oleh Nya. Apakah kamu juga merasakan dan memikirkan hal yang sama denganku?

Mas Angga, kini hubungan kita berjalan sudah hampir setengah tahun. Memang tak selamanya mulus tapi kita baik-baik saja, atau setidaknya begitu menurutku. Ah, aku benci mengatakannya tapi mungkin inilah yang membuatku selalu kesulitan untuk memulai menuliskan kisah kita. Begini, belum banyak hal yang kuketahui tentangmu. Sehingga, entahlah... Aku masih takut salah menafsirkan diammu selama ini. Aku khawatir keliru menerjemahkan sikap datarmu sampai kini. Bukankah yang ku pikirkan belum tentu sama dengan yang kau rasa? Dan lagi perihal hati, siapa yang lebih tahu selain dirimu dan Tuhanmu? Pengetahuanku tentang dirimu hanya sebatas apa yang kau ceritakan padaku, meski itupun amat jarang. Hanya melalui beberapa pesan dan pertemuan yang dapat dihitung jari walau jarak kita teramat dekat. Seharusnya aku tak perlu merisaukan ucapan mereka yang berdiri di luar lingkar hubungan kita. Mereka bebas menilai, tetap kita yang menjalani. Ya, kita.

Mas, aku tahu kita masih berproses dan semua butuh waktu. Biarlah asing ini menjadi penanda bahwa kita masih saling belajar memahami. Bukan hanya aku untuk belajar memahamimu melainkan juga kamu belajar untuk memahamiku. Aku tahu bukan dirimu yang berubah. Hanya saja memang aku yang belum mengenalmu secara utuh. Jika saat ini aku dengan egoku berpikir bahwa akulah satu-satunya yang berjuang dan selalu mengalah, tak ada jaminan kamu pun tidak memikirkan hal yang sama. Ada baiknya kita tepikan segala ego dan mencoba melihat dari sudut pandang satu sama lain.

Mas Angga, satu hal yang kutahu pasti, kamu pribadi dengan pengendalian diri yang luar biasa, dan itu sudah cukup untuk melengkapiku. Selebihnya, biarlah proses ini berjalan sesuai dengan kesiapan kita saling menerima satu sama lain tanpa melukai dan dilukai. Pergilah sejauh yang kamu ingin, marahlah selama yang kamu bisa, tapi jangan berhenti mencintaiku. Jangan berhenti mendoakan kebaikan dalam kisah ini. Sebab aku akan memposisikan diri sebagai rumahmu –tempat ternyaman untukmu pulang- setelah apapun yang kamu lewati dan belum sempat kamu bagi denganku sekarang. Simpanlah sementara semua cerita dan jagalah utuh kepercayaan kita pada skenario cinta Nya.

Mas, aku tahu tulisan ini sangat berantakan. Seperti hatiku yang memang telah lama tak bertuan sebelum kamu mengisinya kembali dengan harapan. Namun setidaknya melalui tulisan ini kita akan sama-sama menguatkan ingatan dan membawa kenangan saat kepala kita sudah beruban. Kelak.

Bekasi, 17 Juni 2018 (22:26 WIB)
Yours,

Arni

Comments

Popular posts from this blog

Suara Hati

Terimakasih Tuhan

Alunan Asa